Omong Kosong Problem Solving, Selesaikan Masalah Pencak Silat Madiun Dengan Masalah
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Jawa Timur baru saja menelurkan surat bernomor 300/5984/209.5/2023 perihal penertiban atau pembongkaran tugu pencak silat, ditujukan kepada Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Surat ini adalah tindak lanjut dari rapat koordinasi pengamanan Suran Agung di Mapolda Jatim (26/6/2023). Rapat adiluhur yang dihadiri Kapolda Jatim, Dandim Wilayah Madiun, Ketua IPSI Jatim, Pemprov Jatim dan beberapa Ketua Umum Pencak Silat.
Dengan dalih menjaga kerukunan dan kebersamaan, Ketua IPSI Jawa Timur, lewat surat ini, memberikan himbauan kepada pimpinan perguruan pencak silat se-Jatim agar membongkar (baca: menertibkan) tugu perguruan pencak silat. Bangunan tak bernyawa ini dianggap jadi salah satu penyebab konflik pencak silat selama ini. Vandalisme, pelemparan batu, dan upaya perusakan memang sering menyasar tugu-tugu yang ada di pinggir jalan.
Kita boleh setuju untuk tidak setuju dengan himbauan ini, toh alasannya juga berdasar. Namun, saya pribadi menolak himbauan merobohkan tugu sebagai jalan untuk mengurangi kemungkinan konflik pencak silat. Problematika silat khususnya di Madiun itu pelik, masalahnya sistematis bahkan terstruktur, terlalu naif jika jalan ini diambil. Ingat, tak perlu merobohkan stadion saat suporter membuat kerusuhan.
Menyoal Makna Simbol
Sederhana saja, kita definisikan simbol sebagai media menyampaikan pesan yang telah disepakati kelompok masyarakat, simbol juga sering diartikan sebagai lambang yang didalamnya memuat gagasan serta nilai-nilai luhur. Bahkan, kehidupan ini dibangun atas simbol, simbol ada sebelum manusia ada, bayangan kita kalau bumi itu bulat layaknya globe adalah proses persentuhan manusia dengan simbol.
Perjalanan manusia dalam mengenal simbol sangatlah panjang, orang tua memberikan nama kepada kita adalah contoh simbolisasi paling sederhana, tujuannya agar kita saling terhubung satu sama lain. Simbol juga memungkinkan manusia untuk membentuk harapan, melanjutkan kehidupan, dan memfungsikannya. Sekali lagi, manusia hidup dengan simbol-simbol, lambang-lambang sebagai modal dalam berinteraksi.
Lambang tugu pencak silat adalah objek yang tersusun atas berbagai simbol, di dalamnya memuat banyak sekali nilai yang memberi harapan untuk masing-masing kelompok. Meskipun tugu adalah benda mati yang sering dijadikan kambing hitam, tugu tetaplah tugu, kumpulan simbol yang jadi kesepakatan bersama, memuat gagasan dan memberikan harapan untuk tetap hidup. Disinilah kemelekatan manusia terhadap simbol menjadi penting.
Menyoal Vandal
Salah satu dasar lahirnya himbauan pembongkaran tugu adalah praktik vandalisme yang persisten jadi sumber konflik, banyak kasus konflik pencak silat di Madiun yang lahir dari praktik perusakan tugu. Caranya beragam, ada yang menuangkan cat, melempar dengan batu, atau dirusak dengan benda keras. Praktik vandal ndlogok ini terus menerus terjadi karena Madiun adalah Kota Sejuta Tugu.
Pencak silat adalah cinta bagi warga Madiun, cintanya terdefinisikan lewat simbol-simbol, melalui tugu yang berdiri di tiap gang desa, dan melekat dalam atribut kesayangan. Secinta apa masyarakat Madiun dengan pencak silat? tak perlu bertele-tele untuk menjelaskan hal ini, konflik yang terjadi adalah bentuk cinta yang berlebihan, cinta yang mendarah daging, cinta yang pol-polan.
Tindakan gabut yang sering menyulut konflik ini terus terulang tiap tahunnya, cukup logis juga himbauan ini muncul, setidaknya ada sumber konflik yang hilang, ada cahaya solutif untuk menyelesaikan problem konflik. Tapi, himbauan ini patut kita tanyakan ulang, kita lihat lebih dalam, kalau perlu kita debat ulang.
Merobohkan tugu pencak silat tak lebih dari upaya menyelesaikan masalah dengan masalah, posisi tugu sangatlah penting untuk keberadaan suatu perguruan pencak silat, tak bosan saya ulang, tugu bukan hanya beton yang dipoles, didalamnya ada nilai luhur dan cita-cita adiluhung. Merobohkannya sama dengan melukai identitas yang telah jadi kesepakatan bersama, yang telah menyalakan derap harap pencak silat Madiun.
Pesimisme
Kalau boleh jujur, saya sudah pesimis mentok kalau konflik pencak silat Madiun ini bisa selesai, kita sering teriak “bedo guru ojo nesu, tunggal guru ojo padu.” Adagium semacam ini indah dilafalkan tapi mustahil diwujudkan, kenapa saya pakai diksi mustahil, karena benar-benar pesimis masalah ini bisa usai.
Konfliknya sistematis bahkan terstruktur, banyak solusi yang mencuat, puluhan naskah akademis lahir menawarkan gagasan solutif, mulai dari perbaikan sistem kaderisasi, mencoret oknum pendekar yang problematik, mengadakan banyak event agar kompetensi pesilat terarah, dan lain-lain. Madiun sudah banjir solusi, tapi sayang, tak pernah serius untuk diwujudkan.
Dendam ini seakan-akan diwariskan dari satu generasi ke generasi, konfliknya dirawat dan dipupuk sedemikian subur, persaudaraan hanya tinggal nama, indah sebagai khayalan tapi sulit untuk diwujudkan. Saya pesimis, masalah ini pelik, upaya untuk mencapai perdamaian hanyalah bualan, panggung sambutan dan pidato rekonsiliasi tak cukup untuk mewujudkan “persaudaraan.”
Mari kita tutup dengan bualan indah untuk mengakhiri konflik, berhenti bersitegang hanya karena ketersinggungan, berhenti bikin onar hanya karena vandal, berhenti teriak si paling benar hanya karena yang lain salah. Kita punya tujuan dan tantangan kebersamaan yang sama, nilai kepercayaan kita lahir dari embrio yang baik, kita selesaikan masalah ini dengan cara yang baik.
Dan sebaik-baiknya cara untuk mewujudkan perdamaian pencak silat Madiun adalah dengan pesimis.
Posting Komentar