Menakar Gesekan Antar Perguruan Silat di Madiun
Foto: Ilustrasi Logo berbagai perguruan silat di Indonesia (Sumber: Kompasiana.com) |
Jelas sudah jadi
kebiasaan warga Madiun, kalau Satu Suro atau Suran Agung tiba, lebih baik
berdiam diri di rumah. Bukan apa-apa, tapi demi keselamatan jiwa.
Siang itu, Caruban sedang panas-panasnya.
Maklum, kita berada di pertengahan tahun, saat-saat biasanya pergantian musim;
siang yang begitu terik dan malam yang bikin mbediding.
Sinar matahari yang menyengat tak
menyurutkan semangat dulur-dulur Persaudaraan Setia Hati Winongo Tunas Muda
atau yang lebih singkat dipanggil PSHW-TM. Dengan mata merekah, mereka
ramai-ramai melintasi jalan raya menuju Kota Madiun, tempat dimana Padepokan
PSHW-TM berdiri. Kala itu memang Suran Agung, dan sudah menjadi tradisi, mereka
berkunjung ke pusat padepokan salah satu perguruan silat terbesar di negeri
ini.
Pemandangan seperti itu sudah tak
asing bagi warga Caruban-Madiun. Hampir semuanya akan mewanti-wanti keluarganya
untuk berdiam diri saja di rumah. Tak hanya ketika Suran Agung, setiap bulan
Suro tiba, kami berusaha membuat diri nyaman berkegiatan di area sekitar tempat
tinggal saja. Yang susah, ya polisi. Mereka jadi kebagian tugas jaga dan
patroli lebih sering.
Selain karena jumlah massa yang
banyak, para warga sebenarnya juga menghindari jikalau terjadi pergesekan antar
perguruan silat di awal tahun Hijriah ini. Kalau kalian sering membaca berita
tentang perdamaian antar perguruan silat yang hanya dihadiri petingginya, atau
pendirian tugu perdamaian. Halah-halah. Jangan menaruh percaya. Menyelesaikan
konflik perguruan silat tak sesederhana itu.
Pernahkah kalian bertanya, kenapa
mereka tetap berselisih? Padahal sudah ada pertemuan a-b-c-d, ada kesepakatan
x-y-z. Tapi, kok ketegangan antar perguruan silat tetap dirasakan masyarakat?
Sudah menjadi kebiasaan orang
Indonesia, kalau menyelesaikan konflik, ya cuma di permukaan. Layaknya gunung
es, apa yang ada di bawah permukaan laut justru lebih besar daripada apa yang
nampak. Lebih kurang, itu yang akan saya katakan jika diminta mendeskripsikan
hubungan antar perguruan silat.
Dalam studi komunikasi budaya,
ada salah satu teori yang menurut saya sangat relate untuk mendeskripsikan
fenomena ini; Identity Negotiation Theory atau Teori Negosiasi Identitas. Salah satu konsep dalam teori itu
menyebutkan bahwa ada yang disebut sebagai identitas komunal. Identitas komunal ini
ditandai dengan serangkaian cara hidup atau lambang-lambang yang dipertukarkan
oleh sesama anggota dari suatu komunitas atau sekelompok orang tertentu. Alah,
simpelnya gini; identitas yang serupa dari sekelompok orang.
Lantas, apa yang menjadi penting?
Identitas komunal ini membuat seseorang akan merasa superior (merasa lebih
dibanding orang lain) jika berada bersama-sama dalam kelompok tersebut. Nah,
dalam konteks perguruan silat, identitas komunal ini ditandai dengan adanya
seragam yang ditempeli logo khas masing-masing perguruan. Belum lagi, adanya
bendera dan pendirian tugu perguruan silat di setiap wilayah dimana mereka
“berkuasa”.
Seragam, bendera, tugu, adalah
identitas yang nampak. Masalahnya, identitas ini tak hanya memengaruhi
penampilan fisik seseorang, tapi juga persepsi, sikap, perilaku, pembicaraan yang terjadi dalam kelompok tersebut. Apa yang sebenarnya perlu dikaji lebih dalam adalah
nilai-nilai apa saja yang ditanamkan dalam perguruan silat, yang
dimanifestasikan dalam ajarannya?
Nuwun sewu. Nilai ini menjadi
penting mengingat anak-anak SD sudah banyak yang ikut silat. Jika nilai-nilai
yang ditanamkan ternyata tidak memperbaiki kualitas hidup bermasyarakat, po yo
ra susah?
Misalnya, jika dalam latihan
silat diajarkan mental senggol-bacok, atau mendahulukan egoisme kelompok silat,
tentu adanya Satu Suro atau Suran Agung tetap menjadi “ancaman” bagi warga
sekitar.
Egoisme atau perasaan superior
bisa timbul jika dulur-dulur anggota perguruan silat kurang tepat dalam menanggapi
sejarah awal mula berdirinya perguruan silat mereka. Sebagai contoh,
Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) dianggap membangkang dan bentuk pemisahan
diri dari PSHW. Asumsi ini jika terus dibiarkan, akan menimbulkan pemahaman
yang kurang dewasa. Bisa jadi, kalau 2 orang bertemu dan njlalah dari dua
perguruan silat ini, hubungan yang semula baik-baik saja bisa jadi kikuk karena
persepsi negatif yang timbul hanya karena “melu opo (ikut apa?)”.
Bapak-Ibu pejabat yang duduk di
kursi pemerintahan, monggo mengkaji hal ini. Jangan hanya mengumpulkan para
ketua perguruan silat dan saling berjabat tangan, menandai “damai” mereka. Akan
lebih baik jika sedikit demi sedikit memahami pemikiran dan nilai yang
ditanamkan dari setiap perguruan silat, termasuk cara mereka memandang
perguruan silat lain. Kalau sudah ketahuan, baru kita bisa cari solusi bersama
yang menggerakkan mereka yang ada di akar rumput.
Tapi, kalau kesulitan mengkaji,
bisa menghubungi saya. Hehehe…
Posting Komentar