Yang Fana Adalah Madiun, Anak Mudanya Merantau Abadi
Bicara soal madiun, pepatah lokal “Madiun ditinggal ngangeni, ditunggoni ra sugih-sugih” merupakan salah satu kalimat pepatah yang mungkin perlu kita bedah akarnya, mengapa memilih tinggal dan menetap di Madiun (secara khusus Kota Madiun) dipandang akan membuat seseorang kurang sejahtera?. Pertanyaan ini penting bagi kita warga Kota Madiun untuk mendapatkan solusi, mengingat setiap tahunnya, banyak program yang telah dilakukan Pemerintah dan inisiatif warga masyarakat Madiun dalam membangun wajah Kota Madiun menjadi lebih “nyaman” untuk ditinggali, namun faktanya juga makin banyak angkatan muda Kota Madiun yang juga enggan untuk berkarir di kotanya sendiri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kota Madiun, merupakan tertinggi ketiga di seluruh Jawa Timur, bersaing dengan dua kota paling mentereng seperti Surabaya dan Malang. Komponen-komponen seperti angka harapan hidup, lama waktu belajar hingga kapasitas pengeluaran per-kapita adalah nilai yang diukur untuk menentukan ranking dari masing-masing daerah. Sangat wajar jika kita dapat menjumpai talenta Kota Madiun sering menjadi lulusan terbaik di berbagai institusi pendidikan terbaik di Indonesia. Dengan modal ini, seharusnya Kota Madiun dapat bersaing dengan Malang dan Surabaya, namun realitanya rataan Upah Minimum Regional (UMR) kita masih di kisaran Rp 2.1 Juta, angka yang wajar, yang membuat teman-teman angkatan muda Madiun yang akhirnya memilih untuk hijrah (wong orangnya pinter-pinter, tuntutan hidup layak juga lebih tinggi). Kondisi ini menahun dirasakan di Kota Madiun yang akhirnya membuat tren “eksodus” talenta potensial di Madiun ke daerah lain (bisa dibaca juga sebagai urbanisasi).
Tren “eksodus” ini penting untuk diatasi, sebuah daerah yang tidak ditopang oleh komposisi penduduk yang produktif, berpotensi kehilangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang disumbangkan dari pajak penghasilan masyarakat yang produktif serta kehilangan pesona investasi dari luar daerah karena kurangnya sumber daya terampil. Dampaknya bisa sangat terasa bagi daerah, di-era globalisasi dan kemudahan masyarakat berpindah tempat seperti saat ini, kebutuhan akan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil dan mumpuni bisa jadi kunci percepatan pembangunan ekonomi, salah satu contoh paling mahsyur adalah Singapurayang aktif mengembangkan sektor perdagangan dan pengolahan manufaktur yang banyak menyerap tenaga kerja sebagai batu loncatan awal mengembangkan berbagai sektor pertumbuhan ekonomi lainnya, karena tidak memiliki Sumber Daya Alam yang memadai.
Sinyal positif sebenarnya sudah terlihat dalam beberapa waktu terakhir, dengan meningkatnya jumlah investasi di berbagai sektor seperti sektor perdagangan hingga jasa, yang salah satu faktornya didorong oleh adanya perbaikan infrastruktur belakangan ini. Sayangnya data potensi SDM Kota Madiun, sejauh ini kurang dimanfaatkan sebagai potensi investasi, yang membuat jenis investasi yang masuk ke Kota Madiun, sangat beragam dan belum fokus untuk menjawab, apakah Madiun ingin menjadi Kota Wisata? Kota Pendidikan? Kota Perdagangan atau Kota sentra pengolahan?. Fokus pada satu sektor dengan menargetkan Investasi yang sesuai dengan potensi SDM penting untuk dikaji, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja formal yang dapat mengurangi eksodus SDM talenta muda, karena dapat menampung kualifikasi SDM unggul untuk tetap berkarir di Kota Madiun secara optimal. (Mustahil mencapai kesejahteraan jika kegiatan ekonomi yang diandalkan adalah informal).
Akhir kata, Madiun perlu memilih visi pemimpin yang dapat memanfaatkan potensi SDM secara optimal pada masa kepemimpinan mendatang, yang diterjemahkan dalam program kerja konkret pro potensi SDM di Kota Madiun (Apapun lah bentuk dan modelnya). Tanpa hal ini, alangkah baiknya talenta muda di Kota Madiun mulai mencari panggon liyane sing iso ditunggoni lan langsung sugih.
Fadhila Kresna – Fans Liverpool dari Madiun
Posting Komentar