Panduan Memahami Simulakra Koalisi Pilkada Madiun 2024

radarmadiun

Kalau dalam dunia pewayangan, mungkin kita sedang menyaksikan lakon “Goro-Goro.” Pemimpin yang dulunya satu suara, sekarang malah bertikai, lantas kita, rakyat jelata ini, cuma bisa mengelus dada sambil berseru, “Lha piye iki, Mas?”. Kisah politik Kabupaten Madiun yang dulu adem ayem di bawah naungan keluarga “BERKAH” (Koalisi Kaji Mbing dan Hari Wur pada Pilkada 2018), kini berangsur menjadi saga perpecahan yang tak kalah dramatis dari konflik keluarga di sinetron. Pilkada yang tadinya diharapkan bisa membawa angin segar bagi masyarakat, malah menjadi ajang tarik-menarik kepentingan yang bikin kepala mumet. Tapi ya, apa boleh buat, wong namanya politik memang suka bikin gemes sampai pengin ngemil gapuro.

Dulu, tahun 2018, ketika Kaji Mbing dan Hari Wur masih mesra, kita mungkin beranggapan bahwa pasangan ini bakal langgeng. Lha piye, wong mereka didukung koalisi besar, partai-partai pun ngumpul jadi satu, ibarat nasi rames lengkap dengan lauk pauknya. Namun, seperti hubungan asmara yang terlalu lama, terkadang mulai muncul retakan. Alhasil, sekarang kita melihat keduanya jalan sendiri-sendiri, membawa gerbong partai masing-masing. Jangan-jangan mereka lagi kena “kutukan lima tahun,” semacam apa yang sering menimpa pasangan yang sudah terlalu lama jadian tapi nggak jadi-jadi nikah. Biar nggak ketinggalan, kita pun terpaksa belajar sok paham politik, minimal biar bisa ikut ngomong sok intelek lan ndakik-ndakik di tongkrongan.

Membikin Dahi Berkerut

Nah, kalau mau dibedah lebih dalam, perpecahan ini sebenarnya bukan sekadar soal beda pandangan politik, tapi juga soal peta kekuasaan yang mulai berubah. Bayangkan ini seperti permainan catur, di mana setiap bidak punya langkah sendiri, dan semua tergantung strategi. Hari Wur, dengan bendera Golkar yang berkibar tinggi setelah menang banyak kursi di DPRD, tentu nggak mau terus-terusan jadi “wakil” yang cuma numpang lewat. Lha ya siapa yang mau? Nggak ada yang mau jadi second lead terus-terusan. Jadi, Golkar mulai bersekongkol dengan partai lainnya, meninggalkan romansa lama dengan “Berkah.”

Hari Wur dan Purnomo sekarang didukung oleh koalisi besar yang terdiri dari 12 partai pengusung: Golkar, PKB, PKS, Hanura, NasDem, dan Gerindra, ditambah dengan dukungan dari 6 partai nonparlemen: PAN, Ummat, PSI, Garuda, Gelora, dan PBB. Nah, di sisi koalisi ini, kita lihat ada Mbah Tarom, politikus senior dari PKB, yang sepertinya punya ilmu “aji pengasihan” yang bikin Golkar nggak bisa lepas darinya. Nggak salah lagi, koalisi ini jadi ibarat pasangan “diatur” orang tua—mungkin nggak cinta banget, tapi ya kudu diterima karena faktor senioritas. Lha yo wes, kalau sudah begini, kita cuma bisa bilang, “Pinter temen iki sing ndelok karo sing ngatur.”

Tapi jangan salah, Kaji Mbing juga nggak tinggal diam. Dengan Demokrat dan PDI-P di belakangnya, serta menggandeng Mas Sandhi yang muda dan enerjik, mereka siap menyerang balik. PDI-P yang punya jumlah kursi terbanyak di DPRD (bahkan nasional), jelas nggak mau kehilangan muka. Kombinasi ini seperti pasangan muda yang baru dapat restu dari mertua kaya raya. Kaji Mbing ini ibarat bapak mertua yang punya tanah banyak, dan Mas Sandhi adalah menantu yang diharapkan bisa nerusin usaha keluarga. Ya, sah-sah saja, wong namanya politik memang kadang kayak sinetron “Tukang Bubur Naik Haji”—panjang, berliku, tapi tetap bikin penasaran.

Ketika Kepala Makin Mumet

Kita nggak bisa menutup mata pada perubahan regulasi yang dibuat oleh KPU. Kalau dulu syarat untuk bisa nyalon bupati terbilang cukup berat—harus punya minimal 9 kursi atau 111.833 suara sah—sekarang syarat itu lebih dipermudah. Cukup dengan 33.550 suara sah, seseorang bisa maju sebagai calon bupati. Teorinya sih ini untuk membuka kesempatan lebih luas bagi yang ingin maju, dengan aturan tersebut seharusnya bisa ada 7 calon di pilkada kali ini.

Lantas, kenapa cuma ada dua pasangan calon yang maju? Ini pertanyaan yang sebenarnya bikin kita garuk-garuk kepala. Dalam analisis sok ndakik-ndakik ala warung kopi, ini bisa jadi cara untuk mencegah perpecahan lebih dalam di masyarakat. Bayangkan kalau ada tujuh calon, suara pasti terpecah belah, dan masyarakat Madiun bisa terpecah seperti kue lapis yang habis dimakan anak-anak. Aktor-aktor intermediary non-elektoral seperti NU, Muhammadiyah, dan 14 perguruan silat yang punya pengaruh besar, bisa-bisa ikut terseret arus politik yang semakin keruh. Lha piye? Wong sekadar ngopi saja bisa jadi masalah kalau semua orang sudah terbagi dalam kubu masing-masing.

Bayangkan ini: Kamu duduk di warung kopi, mau ngobrol sama teman, eh ternyata dia dukung calon yang beda sama kamu. Apa nggak bakal ribut itu? Belum lagi kalau tetangga sebelah tiba-tiba ikut nimbrung dan malah dukung calon yang lain lagi. Ujung-ujungnya, bisa jadi nggak ada yang ngopi bareng lagi, karena semuanya saling curiga dan nggerundel sendiri-sendiri. Dan lebih parah lagi, kalau sampai gara-gara pilkada ini, kamu sampai bermusuhan sama saudara sendiri. Astaga, apa nggak bikin hati ini tambah nelongso?

Maka dari itu, cuma ada dua pasangan calon, ya mungkin biar nggak kebanyakan drama. Partai-partai besar lebih milih main aman dengan berkoalisi satu sama lain. Golkar dengan koalisi gemuknya pegang satu kubu, Demokrat dan PDIP pegang kubu lainnya. Jadilah mereka saling berbagi peran: ada yang jadi calon bupati, ada yang jadi calon wakil, dan sisanya mendukung dari balik layar dengan basis massa yang tersebar. Ini kayak bagi-bagi peran di sandiwara radio zaman dulu—semua aktor harus dapat peran, biar nggak ada yang ngambek.

Menurut data KPU, Demokrat dan PDIP yang mendukung Kaji Mbing-Mas Sandhi bakal menguasai sekitar 30% basis massa, sementara Hari Wur-Purnomo yang didukung 12 partai bakal menguasai sekitar 67%. Sisanya? —pikiren dewe. Nah, melihat dari data ini Hari Wur-Purnomo akan menang dengan mudah kalau pemilih partai mereka tetap loyal pada partai pilihannya. Kaji Mbing-Mas Sandhi yang bermodal petahana dan dukungan PDIP sebagai pemenang parlemen nasional bisa saja memiliki strategi politik yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dan kita? Ya kita lagi-lagi cuma bisa duduk di pinggir lapangan, menyaksikan dari kejauhan sambil berdoa semoga ini semua cepat selesai, biar hidup bisa kembali normal, nggak ada lagi sambat soal politik di warung kopi.

Lha Aku Kudu Piye?

Pada akhirnya, pecahnya “Berkah” bukan cuma sekadar drama politik biasa, tapi ini lebih dari itu—sebuah cermin dari dinamika kekuasaan yang selalu diwarnai dengan intrik dan strategi. Ada gengsi, ada perhitungan politik, ada kalkulasi yang kadang bikin kita yang di bawah ini cuma bisa ngelus dada sambil berkata, “Wes lah, sing penting urip masih bisa jalan.” Tapi ini juga jadi pengingat bahwa politik itu nggak cuma soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi juga soal bagaimana kita, rakyat kecil ini, terpengaruh oleh keputusan-keputusan mereka.

Kepada anak-anak muda, sudah saatnya melek politik. Jangan cuma jadi penonton yang pasif, tapi pahami dinamika ini dengan baik. Karena kita, yang katanya pemilik suara, jangan sampai hanya jadi pion dalam permainan besar ini. Toh, pada akhirnya, semua ini bukan hanya tentang menang dan kalah, tapi tentang bagaimana kita bisa tetap guyub rukun dalam menghadapi segala macam gejolak.

Namun, sambil kita merenungkan semua ini, jangan lupa—kadang memahami politik butuh sedikit humor, banyak kesabaran, dan pastinya sambat sana-sini biar nggak terlalu mumet. Wes, ngopi wae, sambat sithik ora opo-opo. Semoga nanti kita bisa melihat hasilnya, siapa tahu malah kita yang bakal ketawa paling akhir.

Penulis : Asiroji Alamul, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM