Bernadya, Kabupaten Madiun Pengen SDM Maju Tapi Nggak Ada Program Beasiswa Buat Anak Mudanya


 
Kabupaten Madiun, sebuah daerah yang katanya penuh dengan potensi pariwisata, ternyata justru sedang asyik berlomba mundur, mundur terus, sampai bikin kita tepuk jidat. Wisata di sini, kalau diibaratkan ya kayak orang yang "hidup segan, mati tak mau". Iya, betul, kawan. Niat pengembangan pariwisatanya entah mau dibawa ke mana, mungkin sedang kebingungan sendiri. Pertanyaannya, apakah semua ini benar-benar meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Kabupaten Madiun? Atau jangan-jangan, cuma jadi masalah baru aja? Nah, yang lebih penting sekarang, pariwisata atau pembangunan sumber daya manusia? Ya, jelas SDM lah. Tapi, tentu jawaban ini bisa beda-beda, tergantung dari sudut mana kita melihat. Kalau sudut yang dibawa sudut pandang orang penting, ya subjektif aja lah, objektif kan repot.

Pembangunan SDM seharusnya jadi prioritas paling atas. Pendidikan tinggi makin penting, tapi nyatanya, kita malah sibuk mikirin gimana caranya bikin acara besar-besaran yang gitu-gitu aja. Piye iki? Aku meh sambat kepriye, nganti ketoke ora jelas arahe. Mari kita bicara tentang anak-anak muda Madiun, generasi penerus bangsa yang katanya penuh harapan. Ada sekitar 23.500 siswa SMA sederajat di Madiun. Nah, kalau rata-rata tiap angkatan sama banyaknya, berarti ada sekitar 7.800 siswa yang lulus SMA tiap tahunnya. Berapa banyak yang lanjut ke perguruan tinggi? Ya, jangan kaget kalau jawabannya sedikit. Bukan karena mereka malas, atau kurang pintar. Tapi karena, mereka terjebak dalam "lingkaran setan" kemiskinan dan kebijakan pemerintah yang, alamak, lebih cinta sama acara dinsa daripada otak-otak cerdas anak-anak daerah.

Kita asumsikan aja lah, misalnya 10% dari siswa ini lanjut ke perguruan tinggi, itu sekitar 780 siswa. Dari situ, 11% hidup di bawah garis kemiskinan, jadi sekitar 78 siswa adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu. Harapannya bisa dapet beasiswa dari pemerintah. Tapi apa yang terjadi? Beasiswa? Oh, itu cuma fiksi, kawan. Mereka akhirnya cuma bisa berangan-angan sambil terus berdoa. Gusti Allah mboten sare, tapi pemerintah ya jelas ora melu tangi.

Mari kita lihat kemana perhatian pemerintah selama ini. Boro-boro mikirin beasiswa, mereka lebih sibuk ngurus acara yang katanya berpihak pada umkm, pariwisata lan wong cilik yang gak seberapa ngefek itu, acara yang seolah-olah bikin kita semua bersemangat (padahal ya gitu-gitu aja, tak ada yang istimewa). Ironisnya, mereka lupa kalau investasi yang paling penting itu bukan di semarak sesaat, tapi di otak-otak brilian yang nanti bisa membangun Madiun dengan ide-ide segarnya. Tapi ya gitu lah, selalu yang penting itu penampilan dulu, isi belakangan. Wong disekolahke sing pinter wae akeh sing nganggur, apalagi yen ra disekolahke, bener-bener iso dadi kabupaten sing ambyar tenan, arep jek ngene terus ta?

Apa jadinya kalau anak-anak muda berbakat Madiun ini nggak dapat beasiswa? Ya mereka harus siap-siap kubur mimpi mereka dalam-dalam. Potensi besar yang seharusnya bisa menjadi pilar pembangunan ekonomi dan sosial daerah malah cuma jadi angka tambahan di statistik pengangguran. Lah, apakah dengan punya gelar Sarjana itu pasti nggak nganggur? Ya, belum tentu juga. Tapi paling tidak, dengan gelar tersebut mereka punya bekal akademis dan kemampuan administrasi yang lebih baik. Nek ora, ya wes, sak karepmu, sing penting ora nyusahke wong tuwo.

Namun, pilihan pemerintah untuk cari jalan pintas dan menutupi masalah dengan prestise semu jelas akan berdampak bukan hanya ke individu, tapi ke seluruh kabupaten ini. Mereka seakan-akan tak peduli kalau mengorbankan masa depan daerah. Ah, pemerintah koyo ngono kok digugu tenanan!

Bayangkan, dengan 78 beasiswa saja, pemerintah bisa menciptakan agent of change yang mampu membawa Kabupaten Madiun keluar dari bayang-bayang ketertinggalan. Tapi apa yang terjadi? Program beasiswa ini hanya jadi mimpi di siang bolong. Saya curiga, jangan-jangan pemerintah terinspirasi dari buku "Panem et Circenses" – fokus mereka cuma di hiburan dan makanan saja. Biar rakyat tetap kenyang dan terhibur, masalah SDM unggul? Ah, itu urusan nanti, paling akhir. Mungkin mereka takut, semakin banyak SDM unggul, semakin banyak yang berani bersuara dan mengkritik mereka. Yo sopo seng weroh, hla wong aku mur sambat.

Kalau pemerintah terus mengabaikan pentingnya pendidikan, apa yang akan terjadi pada Kabupaten Madiun dalam lima atau sepuluh tahun ke depan? Pembangunan infrastruktur tanpa dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia hanya akan menjadikan kabupaten ini seperti kota mati. Infrastruktur megah, tapi kosong dari inovasi. Sudah saatnya kita, rakyat Madiun, mulai menyuarakan pentingnya beasiswa sebagai investasi masa depan!

Untuk para pemimpin yang akan bertarung di Pilkada kali ini, ingatlah bahwa legitimasi kalian bukan dibangun dari festival formalitas itu, tapi dari berapa banyak rakyat yang kalian bantu untuk meraih mimpi mereka. Lima tahun ke depan, jika kalian memberikan beasiswa, entah untuk sarjana atau pascasarjana, bayangkan berapa banyak gelar sarjana, master, atau doktor yang nantinya akan menjadi bukti sahih kepemimpinan kalian. Kalau visi dan misi kalian nanti tidak menyentuh soal pendidikan sama sekali, cuma mau ngomong  ke kalian: "Cangkeman! Ancen bener-bener kowe kabeh ra nduwe isin!"


Penulis

Asiroji Alamul