Mengapa Aktor Politik Tunduk Pada Keinginan Material Masyarakat?

canva


Money politics telah menjadi fenomena yang melekat dalam proses demokrasi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Biasanya praktik ini dipandang sebagai bentuk eksploitasi kekuasaan oleh aktor politik terhadap masyarakat di mana suara masyarakat dibeli menggunakan uang atau barang sebagai imbalan. Namun, perubahan dinamika sosial-politik dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa narasi ini tidak sepenuhnya mencerminkan kenyataan. Kini, masyarakat justru menggunakan pemilu sebagai alat untuk mendapatkan manfaat material langsung meposisikan diri mereka sebagai pelaku aktif dalam hubungan transaksional ini.

Hal ini sangatlah sejalan dengan teori klientelisme dari James C. Scott yang berfokus pada analisis tentang strategi masyarakat dalam mengakses sumberdaya untuk bertahan hidup dan membangun hubungan dengan aktor politik melalui patronase yang mana aktor politik bertindak sebagai pemberi bantuan sementara masyarakat berfungsi sebagai penerima layanan dengan memberikan dukungan atau loyalitas sebagai suatu imbalan hal ini menunjukan hubungan timbal balik yang strategis dalam dinamika money politics. 

Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi dipandang hanya sebagai korban manipulasi politik uang, tetapi juga sebagai pihak yang secara strategis memanfaatkan kebutuhan aktor politik akan suara. Pemilu bagi masyarakat menjadi "pasar politik," di mana suara mereka dijual kepada penawar tertinggi. Aktor politik yang ingin memenangkan pemilu dipaksa untuk tunduk pada tuntutan material masyarakat, menciptakan relasi kuasa yang terbalik. Praktik ini, meskipun tampak sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap elite, sebenarnya memperkuat siklus destruktif yang melemahkan kualitas demokrasi, legitimasi kekuasaan, dan pembangunan kesejahteraan jangka panjang.

Fenomena ini menimbulkan konsekuensi yang mendalam terhadap tiga pilar utama dalam politik: demokrasi, kekuasaan, dan kesejahteraan. Demokrasi kehilangan esensinya sebagai mekanisme representasi dan deliberasi, bergeser menjadi kapitalisme suara di mana suara menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Kekuasaan, yang seharusnya menjadi amanah untuk melayani kepentingan rakyat, direduksi menjadi alat transaksi semata. Di sisi lain, kesejahteraan masyarakat tidak benar-benar membaik, karena politik uang hanya memberikan manfaat material sementara tanpa menyentuh akar permasalahan struktural.

Demokrasi sebagai Kapitalisme Suara: Masyarakat Mengontrol Permainan

Dalam demokrasi transaksional, masyarakat aktif menggunakan suara sebagai komoditas yang dinegosiasikan, menjadikan pemilu sebagai pasar di mana suara dijual kepada penawar tertinggi. Aktor politik harus memenuhi tuntutan material masyarakat untuk memenangkan pemilu, menciptakan hubungan kekuasaan yang sempat terbalik. Namun, kekuasaan kembali berpindah ke tangan elite setelah pemilihan selesai, membuat masyarakat kehilangan pengaruh dalam kebijakan pasca pemilu. Demokrasi yang ideal mengalami kemunduran karena fokus pada keuntungan jangka pendek mengurangi nilai partisipasi, deliberasi, dan representasi. Konsep kapitalisme suara muncul, di mana suara bukan simbol kedaulatan tetapi barang dagangan, melemahkan esensi demokrasi sebagai sarana representasi dan pembangunan.

Kesejahteraan sebagai Komoditas: Masyarakat Mengamankan Manfaat Jangka Pendek

Money politics sering memberikan keuntungan material bagi masyarakat selama pemilu, tetapi manfaat ini hanya sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah seperti kemiskinan atau ketimpangan sosial. Dalam jangka pendek, masyarakat mungkin merasa terbantu oleh uang atau barang yang diterima, tetapi manfaat ini habis tanpa dampak berkelanjutan. Sementara itu, dalam jangka panjang, praktik politik uang memicu aktor politik untuk mengembalikan modal melalui korupsi atau kebijakan yang berpihak pada kelompok tertentu, mengabaikan pembangunan sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, ketimpangan sosial semakin memburuk, dan masyarakat tetap terperangkap dalam kemiskinan serta ketergantungan tanpa perubahan yang berarti.

Kekuasaan sebagai Komoditas: Relasi Transaksional yang Rapuh

Dalam sistem money politics, kekuasaan menjadi komoditas yang diperjualbelikan antara masyarakat dan aktor politik. Selama kampanye, masyarakat memanfaatkan kebutuhan aktor politik akan suara dengan menuntut imbalan berupa uang, barang, atau proyek lokal, menciptakan dinamika transaksional yang rapuh. Setelah pemilu, kekuasaan kembali ke tangan aktor politik, yang sering kali mengabaikan janji kampanye untuk mengembalikan modal politik. Relasi ini menciptakan siklus eksploitasi timbal balik, merusak legitimasi kekuasaan, dan memperburuk ketidakadilan struktural. Kekuasaan yang dibangun melalui politik uang kehilangan legitimasi moral, serta menciptakan dominasi elit yang memiliki sumber daya finansial besar. Akibatnya, aspirasi rakyat sering kali terpinggirkan, dan kekuasaan hanya berfokus pada kepentingan kelompok kecil, bukan kesejahteraan masyarakat luas.

Untuk mengatasi dampak negatif money politics adalah dengan memperkuat mekanisme pengawasan pemilu dan transparansi keuangan kampanye. Ini meliputi penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi dan manipulasi anggaran, serta memastikan pemilihan berbasis visi dan program, bukan transaksi ekonomi. Selain itu, pemerintah harus meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program sosial dan pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan, bukan dengan pendekatan berbasis bantuan material jangka pendek. Pendidikan politik juga perlu ditingkatkan agar masyarakat memahami pentingnya pemilihan yang berbasis kepentingan kolektif dan bukan keuntungan langsung.

Penulis
Harkosta Ario Sopaba, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada